Beberapa minggu terakhir, pemberitaan di Indonesia didominasi oleh
berita tentang kasus Luna Maya vs Infotainment. Para wartawan
infotainment tidak terima dengan makian Luna yang ditulis di media
jejaring sosial twitter setelah kesal karena merasa wartawan sudah
mengganggu privasi dia.
Luna Maya sama halnya seperti Prita, yang mengungkapkan protes terhadap
sesuatu yang memang menjadi hak dia. Namun ada kesalahan yang dibuat
dimana Luna menggunakan kata-kata kasar dalam menyampaikan protes
tersebut. Namun permasalah bisa dilacak lagi dari sini tentang apa yang
menjadi penyebab Luna berbuat demikian. Itulah yang seharusnya menjadi
perenungan jurnalis infotainment.
Perdebatan tentu saja muncul. Bola panas pertama dilempar oleh pihak
infotainment dalam hal ini Pwi Jaya yang berencana melaporkan pihak Luna
dengan menggunakan dasar UU ITE pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1.
Sama persis dengan UU ITE yang digunakan untuk menjerat Prita. Dan
masalahnya lagi pasal-pasa itu juga yang saat ini sedang diperjuangkan
wartawan agar direvisi.
Hal inilah yang justru membongkar sebuah masalah besar yang selama
ini seolah terlindung dibalik dinding kuat yaitu dunia infotainment.
Infotainment ini memiliki ratting tinggi dalam arti disukai audience
hingga seolah jenis jurnalisme ini seolah tahan kritik. Hal ini bisa
saja terjadi karena infotainment berada dibalik nama besar jurnalistik
yang merupaka simbol kebebasan berbicara di Indonesia.
Meski demikian, sebutan jurnalis infotainment sendiri masih menjadi
perdebatan. Meskipun sudah berada dibawah PWI, namun organisasi wartawan
lain menolak menyebutnya sebagai jurnalis, diantaranya AJI. Alasan AJI
jelas karena pada dasarnya wartawan infotainment tidak menjalankan
fungsi jurnalistik yaitu pelayanan terhadap publik, namun lebih bersifat
hiburan, bahkan selama ini muncul pandangan miring bahwa infotainment
telah melanggar hak privasi.
Ada tiga pihak yang menjadi titik utama dalam kasus ini yaitu Luna
Maya, Wartawan Infotainment dan Wartawan Non Infotainment. Permasalahan
ini bisa dibilang justru memberikan dampak positif bagi dunia pers di
Indonesia, sehubungan dengan redefinisi wartawan dan etika wartawan yang
sesungguhnya.
Saya melihat kasus Luna tidak hanya menyinggung UU ITE semata. Kasus
Prita bisa dibilang berjasa dalam memperbaiki UU ITE, sementara kasus
Luna memiliki kelebihan karena kasus ini juga mengajak masyarakat dan
dunia jurnalistik untuk meredefinisi pengertian jurnalistik
infotainment dan bagaimana etika yang harus mereka jalankan.
Dengan kata lain, kasus Luna bisa dibilang berharga dalam sejarah
perkembangan pelaksanaan etika jurnalistik di Indonesia. Apabila semua
pihak bisa berfikir jernih untuk mengambil hikmah dari pelajaran ini
maka bisa jadi kasus ini akan memberikan sumbangan positif bagi dunia
jurnalistik di Indonesia.
Ada 2 pekerjaan rumah besar bagi perjuangan kebebasan pers dan
demokrasi di Indonesia dengan belajar dari kedua kasus ini, yaitu
realisasi revisi UU ITE dan meredefinisi jurnalis infotainment dan
etikanya
Sumber: http://nurul.blog.undip.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar