Undang – undang mengenai
masalah teknologi di Indonesia khusunya sudah ada rancangannya akna tetapi
cukup sulit untuk di terapkan, hal ini dapat merugikan beberapa pihak
dikarenakan saat ini teknologi sudah semakin canggih dan ada beberapa pelanggaran
yang dilakukan pengguna teknologi tersebut.
Salah satu contoh adalah
pencemaran nama baik yang sering dilakukan dalam media sosial bahkan efeknya
sampai ke tingkat kepolisian.
Karena media sosial sangat
mudah di akses oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sehingga pada anak-anak
harus di awasi dengan ketat penggunaannya.
Pada materi kali ini saya
akan membahas masalah RUU ITE yang saya ambil dari blog seseorang mengenai RUU
ITE.
Pembahasannya adalah sebagai
berikut :
IMPLIKASI PEMBERLAKUAN RUU ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Kronologis perjalanan UU ITE:
Perjalanan UU ITE memerlukan waktu yang lama (5 tahun). Hal ini menyebabkan UU ITE menjadi sangat lengkap karena RUU ITE telah melalui banyak pembahasan dari banyak pihak. Sehingga konsultan yang disewa oleh DEPKOMINFO pun menilai bahwa UU ITE ini terlalu ambisius karena Indonesia adalah negara satu-satunya di dunia yang hanya mempunyai satu Cyber Law untuk mengatur begitu luasnya cakupan masalah dunia Cyber, sementara negara lain minimal memiliki tiga Cyber Law. Namun Bapak Cahyana sebagai pemateri malah bersyukur dengan keadaan ini.
Beliau menjelaskan lebih lanjut kondisi nyata di lapangan, betapa berbelitnya proses pengesahan suatu RUU di DPR. Sehingga bagi Indonesia lebih baik memiliki satu Cyber law saja sehingga DEPKOMINFO lebih leluasa menindak lanjuti UU ITE dengan membuat Peraturan Pemerintah yang masing-masing mengatur hal-hal yang lebih detail.
Latar Belakang Indonesia Memerlukan UU ITE
Latar belakang Indonesia memerlukan UU ITE karena:
Perjalanan UU ITE memerlukan waktu yang lama (5 tahun). Hal ini menyebabkan UU ITE menjadi sangat lengkap karena RUU ITE telah melalui banyak pembahasan dari banyak pihak. Sehingga konsultan yang disewa oleh DEPKOMINFO pun menilai bahwa UU ITE ini terlalu ambisius karena Indonesia adalah negara satu-satunya di dunia yang hanya mempunyai satu Cyber Law untuk mengatur begitu luasnya cakupan masalah dunia Cyber, sementara negara lain minimal memiliki tiga Cyber Law. Namun Bapak Cahyana sebagai pemateri malah bersyukur dengan keadaan ini.
Beliau menjelaskan lebih lanjut kondisi nyata di lapangan, betapa berbelitnya proses pengesahan suatu RUU di DPR. Sehingga bagi Indonesia lebih baik memiliki satu Cyber law saja sehingga DEPKOMINFO lebih leluasa menindak lanjuti UU ITE dengan membuat Peraturan Pemerintah yang masing-masing mengatur hal-hal yang lebih detail.
Latar Belakang Indonesia Memerlukan UU ITE
Latar belakang Indonesia memerlukan UU ITE karena:
1. Hampir semua Bank di Indonesia sudah menggunakan ICT. Rata-rata harian
nasional transaksi RTGS, kliring dan Kartu Pembayaran di Indonesia yang semakin
cepat perkembangannya setiap tahun
2. Sektor pariwisata cenderung menuju e-tourism ( 25% booking hotel sudah
dilakukan secara online dan prosentasenya cenderung naik tiap tahun)
3. Trafik internet Indonesia paling besar mengakses Situs Negatif, sementara
jumlah pengguna internet anak-anak semakin meningkat.
4. Proses perijinan ekspor produk indonesia harus mengikuti prosedur di negera
tujuan yang lebih mengutamakan proses elektronik. Sehingga produk dari
Indonesia sering terlambat sampai di tangan konsumen negara tujuan daripada
kompetitor.
5. Ancaman perbuatan yang dilarang (Serangan (attack), Penyusupan (intruder)
atau Penyalahgunaan (Misuse/abuse)) semakin banyak.
Dampak positif dan negatif dari diberlakukannya undang-undang ITE
(Informasi dan Transaksi Elektronik). Banyak Pro dan Kontra terhadap
diberlakukannya UU ITE, tetapi menurut saya kalau UU ITE tersebut membawa
kebaikan bagi semua pihak, kenapa tidak? Pasti dari setiap perbuatan ada
positif dan negatifnya, sama halnya dengan pemberlakuan UU ITE pasti ada sisi
positif dan negatif.
Dampak Positif UU ITE
UU ITE baru disahkan pada tanggal 25 Maret 2008 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan
Informasi, sebenarnya rancangan ini sudah dibentuk sejak tahun 2003.
Dengan UU ITE ini, para penyedia
konten akan terhindar dari pembajakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab, karena sudah ada landasan hukum yang melindungi mereka. Tapi yang kita
lihat saat ini, masih banyak yang melakukan pelanggaran terhadap UU ITE
tersebut.
UU ITE juga untuk melindungi
masyarakat dari penyalahgunaan internet, yang berimplikasi pada keberlangsungan
berbangsa dan bernegara. Dengan adanya UU ITE ini menjadi payung hukum aparat
kepolisian untuk bertindak tegas dan selektif terhadap penyalahgunaan internet
dan bukan dijadikan alat penjegalan politik dan elit tertentu atau mementingkan
segolongan orang.
UU ITE itu juga dapat
mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan
perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang atau
kegiatan ekonomi lainnya lewat transaksi elektronik seperti bisnis lewat
internet dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan.
UU ITE juga membuka peluang
kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet. Masih banyak
daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet.
Dampak Negatif UU ITE
Selain memiliki sisi positif UU
ITE ternyata juga terdapat sisi negatifnya. yakni banyaknya orang yang terjerat
pasal pada UU ITE misalnya saja contoh kasus Prita Mulyasari yang terjerat UU
ITE pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik yang diajukan oleh rumah sakit
OMNI Internasional secara pidana. Sebelumnya prita Mulyasari pernah kalah dalam
sidang perdatanya dan diputus bersalah kemudian menjalani penahanan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Selain Prita Mulyasari juga ada Luna Maya yang
harus berurusan dengan UU ITE. Kasus ini berawal dari tulisan Luna Maya dalam
akun twitter yang terjerat pasal 27 ayat 3 Nomor 11 tahun 2008 tentang UU ITE.
Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik. Tulisan di akun twitternya
yang menyebutkan “infotainment derajatnya lebih hina dari pada pelacur
dan pembunuh”. Sebenarnya hal itu tidak perlu untuk ditulis dalam akun
Twitternya, karena hal tersebut terlalu berlebihan apalagi disertai dengan
pelontaran sumpah serapah yang menghina dan merendahkan profesi para pekerja
infotainment.
Dari dua kasus tersebut
sebenarnya hanya hal yang kecil dan terlalu dibesar-besarkan,
sebagai warga negara yang berdemokrasi bebas untuk mengeluarkan pendapatnya
atau unek-uneknya. Hanya saja penempatannya saja yang salah. Menurut analisis
saya, seharusnya Prita Mulyasari menceritakan kasus atau curhatannya secara
lisan kepada temannya hanya lewat telepon saja tidak perlu lewat e-mail segala,
yang jadi masalahnya adalah menceritakan kasusnya via e-mail kepada temennya,
jika e-mail tersebut disebarkan oleh temannya di milis. Terus di milis bisa di
copy paste masukin blog, blog dibaca semua orang. Nah disitulah curhatannya
yang bersifat pribadi menjadi bersifat umum, sehingga pihak yang terkait dalam
surat tersebut merasa tersinggung kemudian pihak tersebut menggugat Prita. Jadi
kesalahan yang sekecil apapun harus berhati-hati apalagi di dunia maya.
Selain itu juga tindak kejahatan
di dunia maya atau internet semakin marak dengan berbagai modus kejahatan.
Salah satu bentuknya yang wajib diwaspadai adalah pencurian data account
penting. Pelakunya sering disebut hacker dengan cara menjebak orang lain untuk
tidak sadar bersedia memberikan data account-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar