Minggu, 16 Maret 2014

10 Etika Profesi Editor

Etika adalah ilmu tentang baik dan buruk serta tentang kewajiban dan hak. Etika
dapat diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak.
Etika adalah nilai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika terdiri dari
etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif menggam-barkan tingkah laku manusia apa
adanya, sedangkan etika normatif menilai tingkah laku tersebut. Etika secara sistematis
dibedakan atas etika umum dan etika khusus. Etika umum melahirkan teori, sedangkan etika
khusus melahirkan etika individual dan etika sosial. Etika umum ”lebih” bersifat deskriptif,
sedangkan etika khusus ”lebih” bersifat normatif. Sifat deskriptif etika umum terlihat dari
paparan filosof tertentu pada ajaran, doktrin atau teorinya. Sifat normatif etika khusus terlihat,
misal-nya pada etika profesi.
Pemahaman seseorang mengenai etika sering-kali kurang tepat. Ada yang mengartikan etika
seba-gai tentang apa yang yang baik dan apa yang buruk, tapi banyak pula yang mengartikan
etika sebagai nilai mengenai benar dan salah. Ada pula yang mengartikan etika sebagai
kumpulan nilai-nilai yang berkenaan dengan ahlak. Pemahaman yang demikian disebabkan oleh
karakteristik etika yang bersifat deskriptif dan nor-matif, sehingga dinamakan sebagai etika
des-kriptif dan etika normatif. Etika deskriptif membe-rikan gambaran mengenai suatu norma
tanpa mem-berikan penilaian, sedangkan etika normatif mem-berikan penilaian terhadap norma
yang berlaku, tidak sekedar menggambarkan norma-norma terse-but.
Etika Jawa misalnya, seringkali digambar-kan sebagai serangkaian norma yang berlaku dalam
masyarakat Jawa. Norma tingkah laku yang berlaku dikalangan masyarakat Jawa seringkali
dipandang sebagai nilai-nilai yang dikagumi oleh masyarakat jawa, namun oleh masyarakat
selain Jawa belum tentu demikian. Etika bersifat normatif, menilai tingkah laku seseorang atau
sekelompok masya-rakat, apakah memang demikian? Penilaian tentang norma-norma tingkah
laku tentunya bermuara kepada suatu tujuan. Apakah tujuan yang dimaksud?
Secara sistematis, etika terbagi atas etika umum dan etika khusus. Etika umum berbentuk teori,
sedangkan etika khusus yang terdiri dari etika individual dan etika sosial. Salah satu bentuk
etika khusus adalah etika profesi. Etika umum ”lebih” bersifat deskriptif, sedangkan etika
profesi ”lebih” bersifat normatif.
Etika umum melahirkan berbagai ragam etika yang berhubungan dengan ajaran-ajaran atau
doktrin yang dicetuskan oleh para filosof. Etika khusus, terutama etika sosial menghasilkan
berbagai etika, seperti etika keluarga, etika bisnis, etika pro-fesi dan sebagainya.
Etika profesi mempunyai dinamika tersen-diri yang berbeda dibandingkan dengan bentuk etikaetika
sosial lainnya. Dalam kehidupan beror-ganisasi atau menjalankan profesinya, seorang individu
atau kelompok seringkali dihadapkan pada permasalahan yang menyangkut etika
manajemen. Bagaimanakah seharusnya seorang manajer menam-pilkan tingkah lakunya dalam
kehidupan beror-ganisasi? Apakah seorang manajer sudah menjalan-kan perannya sesuai etika
manajemen ?
Untuk memberikan pemahaman yang tepat, maka perlu dilakukan penelaahan yang lebih mendalam
tentang hakekat etika, baik yang bersifat nor-matif maupun yang bersifat deskriptif,
termasuk tujuan sebuah etika dan etika yang berlaku sebagai etika profesi. Penelaahan
dilakukan dengan studi literatur dan dikaitkan dengan berbagai fenomena yang ditemui dalam
kehidupan empiris.
Etika menganalisis makna yang dikandung dalam predikat kesusilaan dan menyelidiki penggunaan
predikat dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini lahirlah apa yang disebut sebagai etika
deskrip-tif
Etika deskriptif menggambarkan suatu obyek secara cermat mengenai segala yang bersangkutan
dengan bermacam-macam predikat dan tanggapan, terutama predikat dan tanggapan
kesusi-laan yang telah diterima dan digunakan dalam masyarakat.
Etika Jawa digambarkan sebagai norma yang dianut dalam masyarakat Jawa, khususnya Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta dan Jawa Timur. Masyarakat Jawa Barat lebih mengenal
etika Sunda dibanding etika jawa, walaupun masih ter-letak di daerah Jawa.
Salah satu etika Jawa adalah etika perka-winan yang banyak menggunakan ritual adat Jawa
yang digambarkan dalam acara panggih. Panggih merupakan acara yang dijalankan sebelum
kedua mempelai dipersandingkan di pelaminan. Acara panggih dilaksanakan setelah mempelai
laki-laki tiba di kediaman atau tempat perhelatan perkawinan dan disambut oleh mempelai
perempuan.
Acara panggih diawali dengan pertemuan kedua mempelai yang diiringi alhnan musik kebogiro.
Dalam pertemuan pertama, kedua mem-pelai saling melempar daun sirih yang dilipat sedemikian
rupa kepada pasangannya dalam acara balang sirih. Ritual ini menggambarkan asal mula kedua
mempelai bertemu dengan saling melempar kasih. Daun sirih yang bentuknya seperti lambang
cinta dilambangkan sebagai hati masing-masing kedua mempelai. Keduanya saling melempar
sirih, saling melempar lambang hati atau saling melempar cinta. Pertemuan mereka adalah
kehendak hati masing-masing, tidak dipertemukan berdasarkan paksaan pihak lain.
Kedua mempelai akan dibimbing oleh kedua orang tua memasuki rumah atau tempat perhelatan.
Keduanye dibimbing dengan menggunakan kain selendang untuk mengikuti prosesi
selanjutnya, yakni acara menginjak telur.
Acara menginjak telur dilakukan oleh mempelai laki-laki, kemudian kedua kaki mempelai laki-laki
tersebut dibasuh oleh mempelai perem-puan. Ritual ini menggambarkan kesiapan mempe-lai
laki-laki untuk membuahi mempelai perempuan untuk melanjutkan keturunan dengan simbol
meme-cahkan telur. Mempelai perempuan digambarkan kesiapannya untuk merawat buah
perkawinan dengan mengurus dan memelihara keturunan yang diberikan oleh mempelai laki-laki.
Kedua mempelai terus didampingi oleh kedua orang tua mempelai perempuan menuju ke
tempat pelaminan dipeluk dengan sehelai selen-dang. Ritual ini melambangkan adanya pendampingan
kedua orang tua mempelai untuk menempati rumah tangga yang baru yang
dilambangkan dalam bentuk pelaminan.
Di pelaminan kedua mempelai melakukan acara pangkon, kacar-kucur, suap-suapan dan sebagainya.
Pangkon artinya kedua mempelai berpang-kuan, mempelai laki-laki memangku mempelai
perempuan. Pangkon menggambarkan peran seo-rang suami untuk memangku tanggung jawab
terhadap istri dan keluarganya.
Dalam acara kacar-kucur, mempelai laki-laki mengucurkan sekantung beras ke dalam kan-tung
beras yang dipegang mempelai perempuan. Kacar-kucur merupakan gambaran kewajiban mempelai
laki-laki untuk memberikan nafkah kepada istri dan keluarga.
Suap-suapan adalah saling suap kedua mempelai yang menggambarkan keharusan saling
memberi dan menerima antara kedua mempelai. Suami memberi kepada istri dan menerima dari
sang istri. Sang istri pun memberi kepada suami, tidak hanya menerima dari sang suami.
Etika deskriptif melukiskan segala sesuatu secara secara netral dan tidak memberikan penilaian.
Etika deskriptif hanya memberikan gambaran apa adanya, berikut makna-makna yang
terkandung dalam setiap perbuatan dan tidak memberikan peni-laian. Etika tidak hanya bersifat
deskriptif, tetapi juga normatif. Etika tidak terbatas pada pemantauan terhadap moralitas,
tetapi melakukan juga penilaian dengan refleksi kritis, metodis dan sistematis ten-tang tingkah
laku manusia berkaitan dengan norma.
Penilaian tersebut merupakan refleksi ilmiah tentang tingkah laku manusia dari sudut norma
atau sudut baik dan buruk. Etika normatif membicarakan apa yang seharusnya dikerjakan, apa
yang seharusnya terjadi atau apa yang memung-kinkan seseorang melakukan hal yang
bertentangan dengan seharusnya.
Etika normatif mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia dan menilai perilaku terse-but
sesuai dengan norma tertentu. Etika normatif tidak sekedar melukiskan suatu tingkah laku
tetapi menentukan benar tidaknya tingkah laku seseorang. Etika normatif tidak deskriptif, tetapi
bersifat preskriptif (memerintahkan).
Dalam etika normatif, etika Jawa yang digambarkan dalam uraian di atas diberikan peni-laian.
Acara balang sirih mengharuskan kedua mempelai yang berkehendak untuk bersatu dalam cinta
hendaknya saling membuka hati dan diri mereka agar keduanya saling terbuka, semakin
mencintai atau belajar saling mencintai satu sama lain.
Mereka melempar sirih dengan kehendak sendiri tidak dipaksa oleh siapa pun untuk bersatu
dalam cinta. Oleh karena itu mereka harus berani menerima persamaan dan perbedaan dengan
penuh kesadaran. Orang tua atau pun pihak lain mana pun tidak dapat dipersalahkan jika
sewaktu-waktu diantara keduanya timbul ketidakcocokkan, walau-pun orang tua akan selalu
siap mengiringi perja-lanan rumah tangga keduanya. Hal ini dilambangkan dengan sampiran kain
selendang yang mengiringi kedua mempelai mengikuti prosesi selanjutnya.
Perkawinan dalam adat Jawa tidak meng-hilangkan pertalian antara orang tua dengan anakanaknya.
Orang tua tidak akan melepaskan tanggung jawab terhadap anak-anaknya yang
sudah menikah. Anaknya yang sudah menikah tetap diberikan pen-dampingan untuk menapaki
kehidupan berumah tangga. Pendampingan yang dilakukan orang tua bersifat membimbing dan
tidak mencampuri urusan yang masuk dalam wilayah pribadi. Orang tua dinilai baik jika
melakukan peran yang demikian, sebaliknya jika orang tua tidak melakukannya akan dipandang
tidak etis oleh masyarakat.
Prosesi menginjak telur melambangkan bahwa perkawinan yang berlangsung akan menghasilkan
keturunan. Sebuah keluarga akan lengkap jika di dalamnya hadir keturunan-keturunan
hasil pernikahan kedua mempelai. Kehadiran putra-putri dalam sebuah keluarga ibarat sebuah
pelita yang memberikan sina kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga. Rumah tangga
yang tidak dihiasi oleh keturunan dipandang sebagai keluarga yang belum sukses dalam mengisi
bahtera keluarga.
Kehadiran putra-putri dalam sebuah perka-winan harus direncanakan dengan baik dan setelah
hadir di tengah-tengah keluarga juga harus dirawat dengan sebaik-baiknya. Keluarga yang
mampu mengurus putra-putri mereka dengan baik akan dipandang sebagai keluarga yang
bahagia dan sejahtera.
Kedua mempelai wajib secara mandiri mengatur kehidupan rumah tangga masing-masing dan
tidak bergantung kepada pihak lain, termasuk kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua
hanya melakukan pendampingan, tidak boleh larut dengan mencampuri persoalan keluarga
kedua mempelai.
Kemandirian kedua mempelai diwujudkan dalam bentuk kewajiban sang suami melindungi istri,
mencari nafkah dan menyerahkannya kepada sang istri. Sang istri pun wajib menerima dan
mengolah apa pun yang diberikan oleh sang suami. Keluarga yang tidak menjalankan peran
seperti itu akan dinilai tidak baik oleh masyarakat.
Pada situasi tertentu, seorang suami mung-kin tidak mampu memberikan nafkah kepada sang
istri. Pada situasi inilah sang istri akan berjuang membantu suami mencari nafkah, bahkan tidak
jarang menggantikan posisi sang suami sebagai pencari nafkah keluarga. Peran seorang
perempuan dalam keluarga Jawa umumnya menggunakan pola hidup seperti ini dan dianggap
sebagai sesuatu yang etis.
Dalam kehidupan berumah tangga, suami dan istri harus bekerja sama dengan saling memberi
dan saling menerima. Proses memberi dan mene-rima bukan hanya berbentuk lahiriah seperti
men-cari nafkah, namun juga bersifat batiniah.
Sang suami yang hanya mementingkan diri sendiri atau sang istri yang tidak memperdulikan
keperluan suami dipandang kurang elok oleh masyarakat, disamping menimbulkan berbagai
persoalan diantara keduanya. Kebersamaan yang ditunjukkan oleh sepasang suami istri akan
menja-dikan keduanya mampu menghadapi berbagai per-soalan hidup baik suka maupun duka
dalam bahtera rumah tangga. Etika deskriptif memberikan gambaran mengenai berbagai ajaran,
doktrin, teori dan prinsip moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menilai baik atau
buruk tindakan seseorang. Ajaran, doktrin, teori atau prinsip moral merupakan aspek-aspek
yang dipelajari dalam etika umum. Oleh karenanya, etika umum ”lebih” bersifat deskriptif.
Etika normatif merupakan norma-norma yang menuntun manusia bertindak secara baik dan
menghindarkan hal-hal yang buruk sesuai dengan kaidah yang berlaku di masyarakat. Etika
normatif melakukan penilaian terhadap tingkah laku manusia secara individual ataupun
kelompok (sosial). Seba-gai individu, manusia terikat oleh kewajiban dan berupaya mencapai
akhlak yang luhur atau menjadi orang yang bajik. Sebagai anggota kelompok, manusia berkaitan
dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, berinteraksi dengan individu lain atau kelompok
baik formal ataupun non formal.
Etika khusus berkaitan dengan etika indivi-dual dan etika sosial. Etika individual berbicara
tentang perilaku manusia terhadap dirinya sendiri untuk mencapai ahlak yang luhur. Etika sosial
ber-bicara mengenai kewajiban, sikap dan perilaku sebagai anggota masyarakat yang
mempunyai nilai-nilai tertentu seperti saling berinteraksi, saling menghormati, dan sebagainya.
Etika sosial melahir-kan berbagai ragam etika seperti etika keluarga, etika bisnis, etika profesi
dan sebagainya. Etika khusus, termasuk di dalamnya adalah etika sosial dan etika individual
”lebih” bersifat normatif. Etika profesi yang merupakan bagian dari etika sosial juga ”lebih”
bersifat normatif.
Etika merupakan ilmu yang menetapkan ukuran atau kaidah yang mendasari pemberian tanggapan
atau penilaian terhadap perbuatan manusia. Kaidah atau norma adalah nilai yang
mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat
untuk berperilaku sesuai dengan peraturan yang telah disepakati.
Kaidah atau norma biasanya berisi tentang perintah yang merupakan keharusan bagi
seseorang untuk berbuat sesuatu karena akibatnya dipandang baik, Kaidah atau norma juga
biasanya berisi tentang larangan yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak
berbuat sesuatu karena akibatnya dipandang tidak baik.
Kaidah atau norma-norma tersebut umum-nya berbentuk norma agama, susila, kesopanan dan
norma hukum. Norma-norma tersebut menghasilkan etika agama, moral, etiket, kode etik dan
seba-gainya. Etika agama atau moral terwujud dalam predikat moral baik dan buruk, etiket
terwujud dalam bentuk sopan santun, sedangkan norma hukum yang berbentuk kode etik
berbentuk tata tertib yang memelihara perilaku profesional
Etika profesi adalah perilaku yang dianjur-kan secara tepat dalam bertindak sesuai dengan
nilai-nilai moral yang pada umumnya diterima oleh masyarakat. Etika profesi dihasilkan dari
penerapan pemikiran etis yang berkaitan dengan perilaku profesi tertentu. Profesi manajer
misalnya, seharus-nya mempunyai etika yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai seorang
pemimpin. Etika kepemimpinan yang seharusnya dicapai oleh seo-rang manajer adalah etika
kepemimpinan yang memberdayakan.

Andi Kirana dalam bukunya yang berjudul Etika Manajemen menyatakan bahwa kepemimpi-nan
yang memberdayakan adalah menghormati orang lain, menghargai kekuatan dan kontribusi
mereka yang berbeda, menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan jujur,
bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan yang lain, menga-lami nilai pertumbuhan dan
perkembangan pribadi.

Menghormati orang lain, teruma orang yang menjadi bawahan tidak akan membuat kehormatan
pemimpin menjadi berkurang. Pemimpin yang menghormati para bawahannya justru akan
menumbuhkan rasa hormat orang lain, sehingga makin besar pengaruh yang dimilikinya
terhadap orang lain.

Usaha atau kontribusi yang diberikan oleh bawahan hendaknya dihargai secara wajar, terlepas
dari segala kekurangan dan kelebihannya. Pemim-pin hendaknya menyadari hakekat manusia
yang berbeda-beda dalam kemampuannya.
Komunikasi, sebagai salah satu elemen penting dalam kepemimpinan hendaknya dikembangkan
untuk mewujudkan etika kepemimpinan yang memberdayakan. Dengan komunikasi
yang terbuka dan jujur, pengaruh seorang pemimpin terhadap bawahan yang dipimpinnnya akan
lebih efektif.

Etika kepemimpinan yang memberdayakan juga mementingkan kepuasan pelanggan, berusaha
memenuhi kebutuhan pelanggan, mempunyai kesadaran akan adanya perbaikan sebagai suatu
proses yang tetap sehingga setiap orang harus ikut ambil bagian secara aktif. Kepuasan
pelanggan dapat terwujud apabila kebutuhan yang diharapkan dapat terpenuhi.
Pelanggan adalah pihak yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari produk
atau proses. Pemimpin banyak melakukan interaksi dengan berbagai pelanggan, baik pelanggan
internal maupun eksternal. Bawahan merupakan pelanggan internal pemimpinnya,
sebagaimana pemimpin juga adalah pelanggan internal para bawahan.
Sebagai anak buah, bawahan mempunyai berbagai kebutuhan baik yang kebutuhan fisik
maupun lebih dari sekedar kebutuhan yang bersifat fisiologis. Semua kebutuhan tersebut, baik
kebu-tuhan fisiologis (physiologis needs), kemanan (safety needs), sosial (social needs), harga
diri (esteem needs) ataupun aktualisasi diri (self actualization needs) akan memberikan
kepuasan bila terpenuhi sesuai tingkatannya.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, seorang pemimpin hendaknya dapat menggunakan teknik
kepemimpinan yang sesuai. Salah satu teknik kepe-mimpinan yang dipandang efektif untuk
memuaskan tujuan tersebut adalah kepemimpinan transfor-masional.
Pemimpin transformasional adalah seorang yang memiliki kekuatan untuk mendatangkan perubahan
di dalam diri para anggota tim dan di dalam organisasi secara keseluruhan Kepemimpinan
ini sangat di perlukan untuk meningkatkan kinerja seseorang, kelompok, dan organisasi secara
drastis.

Ciri –ciri kepemimpinan ini adalah:
1. Kharisma: Seseorang yang memiliki visi yang jelas untuk organisasi dan mudah
mengkomuni-kasikan visi tersebut kepada anggota tim .
2. Keyakinan: Mempunyai naluri bisnis yang baik dan mampu melihat keputusan apa yang
berpe-ngaruh positif terhadap organisasi, serta mem-bangkitkan kepercayaan diantara
para anggota tim .
3. Rasa hormat dan pengabdian : Dapat membang-kitkan rasa hormat dan pengabdian
dalam diri tiap-tiap orang dengan menyediakan waktu untuk menyatakan mereka penting.
4. Pujian terbuka: Memberikanpujian terhadap orang–orang yang menyelesaikan pekerjaan
dengan baik dan menyatakan betapa besar kon-tribusi mereka terhadap kesuksesan
organisasi.
5. Inspirasi: Membantu orang-orang yang ragu dalam melakukan sesuatu pekerjaan.
Dapat disimpulkan bahwa:

1. Etika mempunyai berbagai pengertian yang membuat seseorang berbeda pendapat dan
mela-hirkan adanya etika deskriptif dan etika nor-matif.
2. Etika deskriptif bersifat menggambarkan ting-kah laku manusia apa adanya. Etika Jawa
yang diritualkan dalam acara panggih tergambar norma-norma yang dianut oleh
masyarakat Jawa, khususnya dalam menapaki bahtera rumah tangga.
3. Etika normatif menilai tingkah laku masyarakat dberdasarkan norma-norma tertentu. Etika
nor-matif mengharuskan masyarakat bertingkah laku tertentu atau seharusnya agar dinilai
etis atau baik.
4. Etika sering disistematiskan menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum melahirkan
ajaran, doktrin atau teori, sedangkan etika khusus melahirkan etika individual dan
etika sosial.
5. Etika umum ”lebih” bersifat deskriptif, sedang-kan etika khusus ”lebih” bersifat normatif.
Sifat deskriptif etika umum terlihat dari paparan filo-sof tertentu pada ajaran, doktrin atau
teorinya. Sifat normatif etika khusus terlihat, misalnya pada etika profesi.
6. Etika menetapkan kaidah atau norma yang berisi keharusan-keharusan untuk tidak
berbuat sesuatu. Norma terseut menghasilkan etika agama, moral, etiket, kode etik dan
sebagainya.
7. Profesi manajer seharusnya mempunyai etika yang berkaitan dengan kedudukannya
sebagai seorang pemimpin. Etika kepemimpinan yang seharusnya dicapai oleh seorang
manajer adalah etika kepemimpinan yang memberdayakan.

Daftar Pustaka
Bertens, K., ”Etika”, PT Gramedia Utama, Jakarta, 2001.
Kasmir, ”Etika Customer Service, PT Radja Grafindo, Jakarta, 2005.
Kattsoff, Louis O., ”Pengantar Filsafat”, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996.
Kirana, Andi, ”Etika Manajemen”, Penerbit Andi, Yogyakarta, 1997.
Poedjawiyatna, IR., ”Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat”, PT. Pembangunan, Jakarta, 1983.
Ruslan, Rosadi, ”Etika Kehumasan”, Radja Grafindo, Jakarta, 2001.
Suriasumantri, Jujun S., ”Ilmu Dalam Persfektif”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
www.id.wikipedia.org/wiki/Etika
www.nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika
www.kejawen.suaramerdeka.com/index.php?id